NTTsatu.com – LEMBATA – Kabupaten Lembata kian popular di bawah kepemimpinan Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur dan Wakil Bupati, Thomas Ola. Keduanya bertekad mempercepat pembangunan di pelbagai sektor dengan Pariwisata sebagai Leading Sector.
Saat ini, tengah disiapkan Festival Tiga Gunung yakni, Gunung Ile Batutara yang sudah masuk kategori obyek wisata terunik di Indonesia, Gunung Ile Lewotolok dan Gunung Ile Werung.
Potensi atraksi budaya masyarakat Kecamatan Atadei, “Hadok”, Tinju Tradisional dibangkitkan kembali, sebagai suguhan heroik menarik untuk ditonton wisatawan ketika digelar Festival Tiga Gunung.
Pagi itu cuaca di desa Atakore, Kecamatan Atadei cerah.Tidak seperti biasanya yang selalu diguyur hujan. Udara pagi amat dingin. Solusinya, jalan-jalan mencari kehangatan dengan menelusuri lorong-lorong berpasir disamping rumah penduduk yang ditumpangi.
Sementara Bupati Sunur dan Wabup Thomas baru saja usai mengikuti Misa di Gereja Atakore. Selepas menikmati sarapan pagi rombongan Bupat bergegas menuju lokasi.
Pagi itu, Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur dan Wakil Bupati Lembata Thomas Ola diagendakan berkunjung ke lokasi wisata Ina Karun. Pegawai dari Kecamatan Atadei dan aparat desa Atakore telah siap di lokasi. Masyarakat belum banyak yang datang soalnya baru pukul 08.00 pagi.
Kendaraan yang kami tumpangi mulai memobilisasi warga ke lokasi “Ina Karun”, sumber Panas Bumi Atadei. Belum juga banyak warga yang datang ke lokasi. Sementara rombongan Bupati telah tiba.
Kedatangan orang nomor 1 di tanah Lembata itu di sambut Camat Atadei, Petrus Peka kepala desa Atakore, Matheus K. Waleng Kepala Dinas Kominfo, Markus Labi, S.Sos serta PLT. Kadis Pariwisata, Apol Mayan dan langsung menuju pusat lokasi Ina Karun.
Bupati dan Rombongan mulai mengamati lubang-lubang beruap panas yang dimanfaatkan masyarakat untuk memasukan bahan makanan dan sedikit genangan air disampingnya yang terus mendidi. Usai mengamati lokasi Bupati dan rombongan langsung menuju tenda acara.
Saat acara sedang berlangsung muncullah sekelompok orang berkain tenun motif daerah Atadei, tidak mengenakan baju, ada yang menggenggam parang dan tombak dengan expresi wajah seram seolah-olah sedang menuju medan perang.
Kehadiran mereka mengundang perhatian orang yang ada di tempat acara. Tidak sabar ingin menggali informasi tentang “Hadok”,pertanyaan pun diarahkan tanya pada kepada seorang Bapak, “mereka itu penari ?” Orang yang saya tanyai spontan menjawab, ” tidak! yang laki-laki itu petinju.
Awalnya saya kaget mendengarnya, kok ada petinju berkain sarung tanpa sarung tinju, ? Acara terus berjalan dan saat acara makan minum master of ceremoni mulai menyampaikan bahwa saatnya hadirin menyaksikan “ Atraksi Hadok ”. Atraksi pun digelar. Atraksi yang sangat menarik dan menghibur.
Sejumlah Narasumber, Petrus Ata Tukan, dan Nikodemus Nimo Lejab dari Watuwawer mengisahkan, Hadok adalah tradisi bertinju secara tradisional dalam masyarakat desa Atakore dan beberapa desa di sekitarnya yakni Lerek, Lewogroma, Atawolo, Waiwejak dan Paulolong kecamatan Atadei Kabupaten Lembata.
Kebiasaan ini digelar setelah membuat acara “bako medehe” suatu acara syukur panen pada kebun tertentu (man henadokei) sesuai tradisi yang diwariskan nenek moyang setempat.
Hadok diselenggarakan dekat kebun tempat dilaksanakannya “bako medehe” dengan mempertimbangkan lokasi paling kurang agak rata. Tempat yang telah disiapkan itu sendiri disebut “Weho” yang berarti arena pertarungan.
Hadok dimulai dengan berdirinya 2 orang di tengah weho (arena pertarungan) yang bertugas sebagai wasit untuk mengatur waktu setiap ronde biasanya 4 ronde dengan waktu istirihat kurang lebih 2 menit. Dua orang ditengah itu juga bertugas mengawasi jalannya pertarungan jangan sampai terjadi penyimpangan, menentukan pemenang dan meleraikan situasi bila terjadi kericuhan antar pendukung.
Dalam Hadok bagian tubuh yang bisa dipukul adalah bagian perut ke atas dan bagian yang paling dicari adalah bagian muka lawan. Semakin banyak bagian muka dipukul lawan berarti semakin rendah tingkat ketangkasan atau kehebatan seseorang dimata lawannya.
Disetiap kubu disponsori 1 orang promotor dan pendukungnya. Hadok biasanya dimulai dari anak-anak diikuti anak muda dan orang orang tua. Pasangan akan bertarung tidak diumumkan atau tidak dipasang melainkan para hadok akan mencari pasangannya sendiri saat acara dimulai.
Disaat semua sudah siap peserta yang mau berhadok akan berlari melintasi arena menemui kelompok lawan dan mencari seorang yang ia yakini pas untuk dilawan lalu menggosok gosok bahu lawannya tersebut yang disebut “dohu”.
Dalam proses mencari lawan (dohu) tindakan menggosok gosok bahu lawan akan dilakukan sebanyak 3 kali. Bila lawannya setuju ia akan menganggukkan kepala dan bila menolak lawan akan menggelengkan kepala. Disaat sedang dohu para pendukung mulai mnyanyikan lagu dengan syair “Elebua o o o o ….karabau raga raga ruhan bogor, bogor tiwang o o o o…… No tenubuk lewoleba…. nae napanganu lewo, lewotolok o o o o o……..”.
Disaat syair lagu berakhir kedua peserta berlari ke tengah arena pertandingan dan berdiri saling berhadapan.
Wasit yang memimpin pertandingan akan mengatakan “hadok” bertanda pertarungan dimulai. Saat itulah serang menyerang dan adu pukulan pun terjadi. Saat keduanya sedang beradu kekuatan para pendukung baik laki-laki maupun perempuan akan berteriak sambil memberi dukungan pada petinjunya masing-masing dengan menyayikan lagu yang syairnya “ Elebua o o o o ….karabau raga raga ruhan bogor, bogor tiwang o o o o…… No tenubuk lewoleba…. nae napanganu lewo, lewotolok o o o o o………
Lagu ini terus dinyanyikan hinggga pertandingan 4 ronde berakhir. Wasit akan menyatakan menang kepada orang yang sering memukul lawan dibagian mukanya, menjatuhkan lawan ke tanah, atau lebih banyak memukul lawannya.
Wasit akan menghentikan pertarungan dan menyatakan seorang menang apabila menjatuhkan lawan ke tanah dan tidak mampu melanjutkan pertarungan, kondisi lawan tidak mengijinkan (sempoyongan), atau lawannya menyerah dengan berlari kembali ke kelompok pendukungnya.
“Hadok itu sendiri merupakan ajang pertarungan gengsi antar keluarga, kelompok, bahkan antar desa. Jika ada anggota kelompok yang dikalahkan dalam sebuah pertarungan anggota keluarganya akan berusaha mengalahkan pasangan keluarga atau kelompok yang lain pada pertarungan hadok musim panen berikutnya.
Waktu terus berjalan, segala sesuatu terus berubah seiring kemajuan jaman. Segala warisan budaya dan tradisi pelan nan pasti akan hilang seiring kemajuan itu. Jika kita mencintai para leluhuhur kita maka marilah kita lestarikan buadaya dan tradisi yang diwariskan pada kita. Hadok dari Atadei tapi bukan semata-mata milik budaya Atadei. Hadok perlu di ketahui, perlu dilestarikan dengan diatraksikan dalam berbagai event agar generasi muda kita bisa mengetahui sekaligus meneruskan ke generasi selanjutnya. Hadok bisa menjadi Tinju Tradisional Lembata yang mesti kita populerkan. (Marsel Molan/Kominfo Lembata)