𝑺𝑨𝑴𝑨𝑲𝑨𝑯 𝑱𝑶𝑲𝑶𝑾𝑰 𝑫𝑬𝑵𝑮𝑨𝑵 𝑮𝑰𝑩𝑹𝑨𝑵?

0
303

Oleh: Robert Bala

𝑨𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒅𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 11 𝒅𝒂𝒏 12 𝒂𝒍𝒊𝒂𝒔 𝒎𝒊𝒓𝒊𝒑? Dari sisi keluarga tentu saja orang mengatakan ‘ya’. Apalagi dalam cara berbicara atau lebih tepat berkata-kata, gestur, terlihat kemiripan. Buah jatuh tidak jauh dari pohon. Kita pun berharap, kehebatan Jokowi diturunkan ke Gibran. Idealnya seperti itu. Lebih lagi ketika Gibran maju sebagai cawapres berpasangan dengan Prabowo Subiatno.

Tetapi apakah kehebatan yang dimiliki Gibran hingga dia dipromosikan jadi Cawapres sama atau minimal mendekati Jokowi? Atau 𝑎𝑝𝑎𝑘𝑎ℎ 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑔𝑢𝑚𝑖 𝐽𝑜𝑘𝑜𝑤𝑖 𝑠𝑒𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑠𝑒𝑟𝑡𝑎 𝑚𝑒𝑟𝑡𝑎 (ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠) 𝑚𝑒𝑛𝑔𝑎𝑔𝑢𝑚𝑖 𝑑𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑟𝑒𝑛𝑎 𝑖𝑡𝑢 ℎ𝑎𝑟𝑢𝑠 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖ℎ 𝐺𝑖𝑏𝑟𝑎𝑛 𝑅𝑎𝑘𝑎𝑏𝑢𝑚𝑖𝑛𝑔 𝑅𝑎𝑘𝑎, 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎 𝐺𝑖𝑏𝑟𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑟𝑡𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑜𝑙𝑎𝑘 𝐽𝑜𝑘𝑜𝑤𝑖?

Pertanyaan ini kelihatan sederhana dan mudah dijawab. Tetapi bila ditelusuri lebih dalam memiliki asumsi yang perlu ditelusuri. Menjawab pertanyaan ini atau minimal memahami pengandaian di baliknya tentu diharapkan dapat menjadi masukan bagi siapapun yang mau menjadikan pilpres 2024 sebagai momen mencari pemimpin terbaik.

Tentang Jokowi, ia bisa menjadi hebat hingga di tahun ke-10 pemerintahannya tentu bukan secara kebetulan. 𝑺𝒆𝒋𝒂𝒓𝒂𝒉 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒅𝒓𝒂𝒎𝒂𝒕𝒊𝒔. 𝑰𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒘𝒂𝒕𝒊 𝒎𝒂𝒔𝒂 𝒌𝒆𝒄𝒊𝒍 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒓𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏 𝒂𝒏𝒄𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒆𝒃𝒖𝒕 𝒎𝒆𝒎𝒑𝒓𝒊𝒉𝒂𝒕𝒊𝒏𝒌𝒂𝒏. 𝑹𝒖𝒎𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒅𝒖𝒍𝒖 𝒅𝒊 𝒑𝒊𝒏𝒈𝒈𝒊𝒓 𝒌𝒂𝒍𝒊, 𝒅𝒊𝒈𝒖𝒔𝒖𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 70-𝒂𝒏. 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒉𝒂𝒓𝒖𝒔 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒎𝒑𝒂𝒏𝒈 𝒉𝒂𝒎𝒑𝒊𝒓 2 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝒅𝒊 𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒕 𝒌𝒂𝒌𝒂𝒌 𝒊𝒃𝒖𝒏𝒚𝒂. 𝑰𝒂 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒃𝒂𝒏𝒕𝒂𝒓𝒂𝒏 𝑲𝒂𝒍𝒊 𝑨𝒏𝒚𝒂𝒓, 𝒅𝒊 𝑲𝒂𝒎𝒑𝒖𝒏𝒈 𝑪𝒊𝒏𝒅𝒆𝒓𝒆𝒋𝒐 𝑳𝒐𝒓, 𝑲𝒆𝒍𝒖𝒓𝒂𝒉𝒂𝒏 𝑮𝒊𝒍𝒊𝒏𝒈𝒂𝒏, 𝑩𝒂𝒏𝒋𝒂𝒓𝒔𝒂𝒓𝒊, 𝑺𝒐𝒍𝒐.

Kita berandai, bila saja kondisi yang rentan itu membahayakan Jokowi. Tentu kita kehilangan seorang figur yang tidak akan diketahui tetapi terutama tidak akan memberi warna seperti yang ia sudah torehkan selama 10 tahun pemerintahannya sebagai Presiden, 2 tahun sebagai gubernur DKI dan 7 tahun jadi walikota Solo.

Oleh perjalanan itu, bersama 𝒑𝒆𝒏𝒚𝒂𝒊𝒓 𝑺𝒑𝒂𝒏𝒚𝒐𝒍, 𝑨𝒏𝒕𝒐𝒏𝒊𝒐 𝑴𝒂𝒄𝒉𝒂𝒅𝒐, 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏𝒂𝒍𝒐𝒈𝒊𝒌𝒂𝒏 𝒃𝒂𝒉𝒘𝒂 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒊𝒍𝒂𝒍𝒖𝒊 𝑱𝒐𝒌𝒐𝒘𝒊 𝒂𝒘𝒂𝒍𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒅𝒂 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏. Ia tidak tahu harus kemana karena memang tidak ada jalan. Tetapi ia berjalan berulang-ulang di tempat itu dan akhirnya terciptalah jalan. Sepertinya terwujud apa yang dikatakan oleh Machado: 𝑷𝒆𝒏𝒈𝒆𝒎𝒃𝒂𝒓𝒂, 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒅𝒂 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒕𝒂𝒑𝒂𝒌, 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒅𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏. 𝑫𝒆𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏, 𝒕𝒆𝒓𝒃𝒖𝒂𝒕𝒍𝒂𝒉 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏. 𝑰𝒕𝒖𝒍𝒂𝒉 𝒌𝒊𝒔𝒂𝒉 𝒉𝒊𝒅𝒖𝒑 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒅𝒊𝒔𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒍.

Karena merangkak dari bawah maka kekayaan yang dimiliki Jokowi saat ‘seumuran’ dengan Gibran tentu saja berbeda. Bila kini Gibran punya kekayaan sebesar Rp 26 miliar, maka angka itu tentu terlalu fantastis untuk seorang pemuda bernama Jokowi. Ia tidak punya apa-apa dan siapa-siapa yang bisa memberikannya harta sebanyak itu. Tetapi yang 𝒊𝒂 𝒑𝒖𝒏𝒚𝒂𝒊 𝒂𝒅𝒂𝒍𝒂𝒉 𝒕𝒆𝒌𝒂𝒅, 𝒌𝒐𝒎𝒊𝒕𝒎𝒆𝒏, 𝒅𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒓𝒋𝒂 𝒌𝒆𝒓𝒂𝒔. 𝑰𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒊𝒂𝒓𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒅𝒊𝒕𝒆𝒎𝒑𝒂𝒉 𝒐𝒍𝒆𝒉 𝒑𝒆𝒏𝒈𝒂𝒍𝒂𝒎𝒂𝒏 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒖𝒂𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒍𝒂𝒏𝒈𝒌𝒂𝒉 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒕𝒂𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉𝒏𝒚𝒂. 𝑲𝒂𝒍𝒂𝒖 𝒊𝒂 𝒔𝒂𝒎𝒑𝒂𝒊 𝒅𝒊 𝒔𝒊𝒏𝒊 𝒅𝒊 𝒑𝒐𝒔𝒊𝒔𝒊 𝒊𝒏𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒂 𝒂𝒏𝒂𝒌 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂-𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑𝒊 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒊𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒔𝒂𝒉𝒂 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒆𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒓𝒊𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒃𝒂𝒈𝒂𝒊 𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈 ‘𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂’.

Gibran yang saat ini menjadi cawapres (yang tentunya sangat didukung oleh sang ayah), tentu tidak bisa dianggap ‘anak bawang’. Pasalnya ia sudah buktikan diri selama 2 tahun menjadi walikota Solo. Tetapi pengalaman itu terlalu sedikit dan itu pun dikatakan Jokowi yang mengatakan (apakah dengan jujur) bahwa Gibran tidak akan maju (secepat itu) jadi cawapres.

Masyarakat banyak yang masih mengandalkan akal budi minimal pun menyetujuinya dan tidak sedikit yang masih meyakini hal itu hingga kini. Mereka memang mengharapkan bahwa ke depannya Gibran bisa menggantikan sang ayah tetapi tidak secepat itu. Ia masih butuh waktu untuk memantaskan diri seperti yang diungkapkan oleh Jokowi sendiri. 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒑𝒆𝒓𝒍𝒖 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒔𝒂𝒎𝒂 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒔𝒂𝒏𝒈 𝒂𝒚𝒂𝒉 𝒋𝒖𝒈𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈 𝒅𝒂𝒓𝒊 ‘𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂-𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂’ 𝒉𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 ‘𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂’ 𝒌𝒊𝒏𝒊. 𝑺𝒆𝒃𝒂𝒍𝒊𝒌𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒓𝒍𝒂𝒍𝒖 𝒄𝒆𝒑𝒂𝒕 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 ‘𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂’ (𝒄𝒂𝒘𝒂𝒑𝒓𝒆𝒔) 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒓𝒊𝒔𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒂𝒓𝒆𝒏𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒖𝒃𝒂𝒉 𝒏𝒂𝒏𝒕𝒊 𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓𝒏𝒚𝒂 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒏𝒋𝒂𝒅𝒊 ‘𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂-𝒔𝒊𝒂𝒑𝒂’ 𝒌𝒆𝒎𝒖𝒅𝒊𝒂𝒏.

Tetapi jalan sendiri seperti yang dibuat Jokowi tidak terjadi pada Gibran. 𝑲𝒆𝒑𝒖𝒕𝒖𝒔𝒂𝒏 𝑴𝑲 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒔𝒕𝒖𝒊 𝒂𝒈𝒂𝒓 𝑮𝒊𝒃𝒓𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒖𝒂𝒕 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒏𝒅𝒊𝒓𝒊 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒖 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕 𝒎𝒆𝒓𝒆𝒑𝒐𝒕𝒌𝒂𝒏. 𝑰𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒆𝒘𝒂𝒕𝒊 𝒋𝒂𝒍𝒂𝒏 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒔𝒖𝒅𝒂𝒉 𝒂𝒅𝒂.

Secara logis (dan pragmatis) memang cara seperti ini terbaik. Untuk apa harus ‘repot-repot’ membuat jalan sendiri sementara jalannya sudah tersedia? Bahkan bukan jalan setapak saja seperti dikatakan Machado tetapi bahkan jalan tol, sebuah analogi bahwa semua infrastruktur dan suprastruktur telah ada. Hal itulah yang telah terjadi dan mengantar kita untuk hanya 2 minggu lagi harus menentukan pilihan.

Singkatnya meski merupakan ayah dan anak, tetapi terdapat perbedaan mencolok. Dari segi menganyam sendiri jalan, Jokowi sangat berbeda dari Gibran. Dari pengalaman juga tidak sebanding. Kita tidak mengatakan perbedaannya antara langit dan bumi tetapi meski sedikit dibesar-besarkan perbedaan itu, sebenarnya mengungkapkan bahwa tidak bisa disamakan.
𝘏𝘢𝘭 𝘪𝘯𝘪 𝘱𝘦𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘯𝘺𝘢𝘵𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪𝘭𝘶𝘱𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘭𝘦𝘩 𝘗𝘋𝘐𝘗. Setelah ‘tersakiti’ oleh Gibran yang ternyata ‘bersanding dengan Prabowo’, PDIP menjadi lupa bahwa Jokowi dan Gibran itu berbeda. Yang mestinya diserang adalah Gibran (dan bukan Jokowi) yang ternyata juga ‘mulut manis’, tampil (sepertinya) sopan, membungkuk badan tetapi apa yang ada di dalamnya bisa dipahami publik.

Serangan ‘membabi-buta’ PDIP kepada Jokowi ini yang justru menjadi boomerang bagi PDIP. Melorotnya survei diprediksi karena serangan yang terlalu ‘habis-habisan’. Publik lalu membela Jokowi. Beruntung kemudian PDIP ‘sadar’ sehingga Ganjar bisa ‘rebound’ lagi.
Singkatnya, kalau menyerang seharusnya langsung ke Gibran yang ternayt ajuga ‘jago’ bermulut manis. Di satu pihak katanya ‘ikut perintah Ibu Ketum’ tetapi ternyata hanya ‘lip service’.

Singkatnya, antara Jokowi dan Gibran memang terdapat perbedaan yang tidak kecil. Hal itu juga bisa terbukti dalam debat ke-2 cawapres. Gibran menjadi (sedikit atau banyak) angkuh dan menyerang Mahfud yang tidak menyangka hal itu bakal terjadi. Wajahnya berubah seperti sebuah ‘KO’ membuatnya terhuyung-huyung di sudut ring debat dengan menganggapnya ‘profesor’ tetapi tidak tahu apa-apa.

Di situ orang melihat bahwa ternyata Jokowi tetap menjadi ‘the best president’ dan Gibran belum mendekati kualitas sang ayah. Hal ini tentu fakta dan bukan opini, meski keduanya bisa disatukan agar menjadi semakin kuat. Jokowi tidak pernah menghujat lawan apalagi setelah membuatnya ‘terkapar’, masih lagi menamparnya.

Di sinilah letak perbedaan itu. Lalu, kalau adanya perbedaan mencolok antara Jokowi dan Gibran maka bagaimana harus menentukan pilihan? Tentu itu adalah keputusan masing-masing pribadi. Setiap orang bebas menentukan pilihannya. Tetapi minimal orang tidak mengalami apa yang disebut sebagai ‘misguided’ alias ‘salah kaprah’ yang sekadar menyamakan Gibran dan Jokowi atau partai yang sekadar mengklaim Jokowi adalah ‘miliknya’. Memang di sana ada anaknya tetapi Jokowi tidak sama dengan anaknya oleh perjalanan hidupnya masing-masing.

Tetapi keputusan akhir tentu akan diserahkan kepada masing-masing untuk menilai. Satu suara ikut menentukan masa depan bangsa ini. Kembali kepada ‘laptop’ (hatimu) untuk memutuskan.

========

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik, Facultad Ciencia Politica Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

Komentar ANDA?