Oleh: Rose Emmaria Tarigan
Perilaku pengguna media sosial sekarang ini terlihat berbeda. Pengguna sehari-hari di internet terlihat lebih santai, tidak terlalu terkekang, dan lebih mudah berkomunikasi. Perilaku ini tidak biasanya mereka lakukan atau katakan secara tatap muka. Fenomena ini sangat umum sehingga muncul istilah “efek disinhibisi online”. Disinhibition online adalah fenomena psikologis yang terjadi ketika seseorang merasa lebih bebas untuk berbicara secara online daripada secara langsung. Istilah ini mengacu pada perilaku pengguna internet yang sering melampaui batas norma sosial saat berkomunikasi di internet karena beberapa hal membuat mereka merasa lebih anonim, aman, atau terpisah dari konsekuensi sosial. Dibandingkan dengan berbicara secara langsung, beberapa individu lebih sering atau lebih agresif mengungkapkan diri atau bertindak secara online (Suler 2004).
Dalam beberapa situasi, perbedaan antara disinhibisi yang baik dan beracun dapat menjadi rumit atau tidak jelas, seperti halnya dalam semua dikotomi konseptual. Sebagai contoh, menggunakan kata-kata bermusuhan (hate speech) saat berbicara dengan orang lain dapat membantu beberapa orang menjadi lebih baik. Dalam hubungan email yang semakin intim, orang mungkin dengan cepat mengungkapkan informasi pribadi jika mereka merasa terpapar, rentan, atau malu karena mengungkapkannya. Ketika salah satu atau kedua orang merasa kewalahan, cemas, atau kecewa, intimasi yang sangat cepat, bahkan mungkin palsu, dapat mengakhiri hubungan. Selain itu, apa yang dianggap sebagai perilaku asosial dalam satu kelompok mungkin sangat relevan dalam kelompok lain di berbagai subkultur online. Tidak mudah untuk membedakan antara disinhibisi yang positif atau negatif karena kompleksitas dinamika psikologis dan relativitas budaya (Suler 2004).
Selain pola interaksi yang berubah dan kecenderungan mengungkapkan diri secara agresif di media sosial, netizen juga melakukan “back stage” (panggung belakang) dan “front stage” (panggung depan) yang berasal dari teori Dramaturgi yang dikembangkan oleh Erving Goffman dalam bukunya berjudul The Presentation of Self in Everyday Life (Goffman 1959). Sudah umum kalau setiap pengguna media sosial seperti Facebook, Instagram,Youtube, dan platform media sosial lainnya, memiliki sekurangnya dua akun. Satu akun sebagai back state, ia menghadirkan diri apa adanya atau yang otentik, sedangkan front stage, ia hadir bukan sebagai aslinya. Tentu saja perilaku back state dan front state bisa mendatangkan kebaikan sekaligus kejahatan sangat tergantung tujuannya. Perilaku dalam bermedia sosial ini, merupakan ekspresi kebebasan yang dimiliki para netizen. Namun fenomena ini harus disikapi dengan benar, dengan memotretnya dari pemikiran Fromm, seorang filsuf Mazhab Frankfurt. Dalam bukunya “Escape From Freedom”. Ia menjelaskan bagaimana seharusnya atau idealnya menggunakan kebebasan yang kita miliki.
Manusia yang terseret kepada kebebasan negatif atau apa yang disebut dengan freedom from (lepas dari belenggu kehidupan sosial tetapi jatuh kepada kehampaan), bukan kebebasan yang positif, freedom to (yang lepas dari belenggu, namun siap dan sanggup menciptakan bentuk kehidupan baru) (Subono 2010). Erich Fromm berbicara tentang kebebasan dari sudut pandang psikologis dalam bukunya Escape from Freedom (1965). Analisis ini membahas dilema psikologis yang muncul ketika seseorang dihadapkan pada kebebasan tanpa batas, serta cara orang menghindari kebebasan. Fromm membedakan dua jenis kebebasan: 1) Kebebasan dari (freedom from), yaitu pembebasan dari pembatasan eksternal seperti kekuasaan otoriter atau struktur sosial yang menekan. 2) Kebebasan untuk (freedom to), yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kehendak dan potensi individu. Kebebasan negatif adalah kebebasan dari tekanan eksternal atau pembatasan, seperti otoritas atau institusi yang mengekang. Kebebasan jenis ini, fokus pada pelepasan diri dari belenggu atau pengaruh luar, seperti penjajahan, penindasan, atau dogma. Sedangkan kebebasan yang positif adalah kebebasan untuk menjadi diri sendiri secara autentik, yaitu kemampuan untuk bertindak sesuai dengan kehendak batin dan potensi manusia. Kebebasan ini mengutamakan tanggung jawab individu, ekspresi diri, dan aktualisasi potensi mereka.
Dalam dunia media digital kontemporer, konsep kebebasan positif dan negatif Erich Fromm sangat relevan. Media sosial, platform berita, dan teknologi komunikasi memberikan kebebasan dan akses yang lebih besar pada informasi di era digital. Namun, media digital juga dapat menyebabkan timbulnya perasaan tertekan, terisolasi, atau kehilangan arah. Ini adalah penjelasan tentang bagaimana gagasan kebebasan positif dan negatif Fromm terkait dengan media digital modern. Fromm berpendapat bahwa kebebasan bahkan bisa menghasilkan “rasa keterasingan” atau “isolasi”. Jika seseorang dibebaskan dari ikatan atau struktur sosial konvensional seperti keluarga, kelompok, mereka sering merasa terisolasi, tanpa pegangan, dan cemas. Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan rasa keterkaitan dengan dunia di sekitar mereka. Keterasingan ini merupakan masalah psikologis yang mendalam. Ini menyebabkan “kecemasan eksistensial”, yang juga dikenal sebagai ketidakpastian tentang apa arti hidup dan siapa diri kita.
Kebebasan berekspresi adalah hak yang paling hakiki dari setiap orang. Tetapi hak ini harus disertai dengan rasa tanggung jawab. Fromm jelas menyatakan ada kebebasan yang positif dan ada yang negatif. Sebagai orang berakal budi maka sangat bijaksana jikalau setiap orang berupaya untuk menggunakan media sosial secara bertanggung jawab. Caranya adalah, menggunakan kebebasan secara positif misalnya dengan mengaktualiasasikan diri, membuat konten-konten yang mendidik, yang bisa menginspirasi orang lain menjadi lebih baik, karena hal ini akan memberikan ketenangan dan terhindar dari keterasingan. Dalam kasus ini, perilaku front state dan back state akan sangat tergantung pada motif sipengguna. Mengapa mereka menampilkan diri apa adanya, dan mengapa mereka menyamarkan diri. Dengan kata lain ukuran kebebasan yang positif adalah kebebasan yang mendatangkan kebaikan sebaliknya, penggunaan kebebasan secara negatif tidak akan mendatangkan kebaikan baik bagi diri sipelaku dan juga orang lain. Ini menjadi pilihan bebas bagi setiap orang.
==========
Penulis adalah: Dosen Universitas Pelita Harapan dan Mahasiswa S3 Universitas Sahid, Jakarta, Indonesia
E-mail. tariganrose38@gmail.com