NTTsatu.com – JAKARTA – Pada suatu hari di tahun 1941 di Digul, Papua, Abdoel Chalid Salim yang saat itu menjadi buangan pemerintah kolonial Belanda bertemu dengan Pater Meuwese. Bagi Chalid perkenalan itu adalah suatu yang mengesankan. Dia melihat Peter adalah sosok yang arif, ramah dan bijak.
Hati Chalid yang sebelumnya tak percaya adanya Tuhan lantaran banyak manusia menderita, mulai goyah. Ditambah lagi dia mulai mempelajari ilmu falakh yang membuatnya menyelami kenisbian bumi. Lambat laun Chalid yang menganut paham sosialisme dan komunisme ini percaya akan adanya Tuhan.
Hingga akhirnya dia meminta Peter Meuwese yang penganut Katolik mengajarinya ilmu agama. Peter tak langsung mengiyakan, namun balik bertanya ke Chalid.
“Tidak sadarkah Anda, Tuan Salim konsekuensi dari langkah Anda? Perlu anda ingat bahwa akan ada kemungkinan bahwa sanak-keluarga Anda yang menganut Islam akan memutuskan segala hubungan keluarga,” kata Peter seperti dikutip detikcom dari buku, ‘IFM Chalid Salim, Lima Belas Tahun Digul’, Minggu (8/10/2017).
Ya, Chalid Salim adalah adik kandung pahlawan nasional yang juga ulama terkemuka di zaman perjuangan kemerdekaan Kiai Haji Agus Salim. Atas latar belakang itulah Peter bertanya kepada Chalid.
Kepada Peter, Chalid meyakinkan bahwa keputusannya masuk Katolik sudah dipikirkan secara masak. Pada 26 Desember 1942, Chalid dibaptis. Dalam bukunya itu Chalid mengaku bahwa tak ada anggota keluarganya termasuk Agus Salim yang gusar atas pilihannya.
Bahkan Agus Salim mengucap syukur atas pilihannya tersebut. Agus Salim menilai bahwa pindahnya Chalid dari penganut komunisme ke katolik sudah menjadi takdir Tuhan.
“Aku bersyukur bahwa Anda akhirnya percaya pula kepada Tuhan. Dan pilihanmu tentu sudah menjadi takdir Ilahi,” kata Agus Salim kepada Chalid.
Dalam sebuah kesempatan Agus Salim pernah ditanya oleh seorang warga Belanda soal keputusan Chalid memeluk Katolik. “Zeg Salim, bagaimana itu, adik Anda masuk agama Katolik?” kata warga Belanda tersebut.
Agus Salim pun menjawab dengan santai, “God zij dank, Alhamdullilah, ia sekarang lebih dekat dengan saya”.
“Mengapa Anda malah berterima kasih kepada Tuhan?” tanya orang Belanda itu semakin keheranan.
“Dia dulu orang komunis, tidak percaya Tuhan, sekarang dia percaya Tuhan,” jawab Agus Salim.
Suradi, penulis buku Grand Old Man of the Republic: Haji Agus Salim dan Konflik Politik Sarekat Islam menyebut sikap Agus Salim itu sebagai wujud pluralisme yang dijunjung tinggi olehnya. Dia tak mengucilkan sang adik apalagi sampai memusuhinya hanya karena berbeda keyakinan.
“Soal agama kan kembali kepada hidayatullah. Rasulullah Muhammad pun tak bisa memaksakan semua orang terdekat yang dicintainya memeluk Islam,” kata Suradi.
Chalid dan Agus Salim lahir dari keluarga Islam ortodoks. Ayah mereka adalah Soetan Salim yang mendapat gelar Soetan Mohamad Salim. Soetan Salim adalah penganut Islam yang taat.
Agus Salim juga ulama berpengaruh di masanya. “Namun karena kesibukkannya dalam pergerakan politik, ia (Agus Salim) tak sempat rupanya untuk memberi ajaran agama kepadaku,” kata Chalid. (detikNews)