Oleh: Robert Bala
Pengosongan lahan HGU Nangahale 22/1, memunculkan pembicaraan yang tak terkontrol. Salah satunya adalah pertanyaan, adalah apakah gereja bisa berbisnis?
Sesungguhnya pertanyaan barangkali bisa dipahami untuk masyarakat bukan NTT. Bagi orang NTT, gereja memang perlu berbisnis untuk menunjang karya sosial. Sebagian besar warga NTT dengan caranya sendiri pernah mengalami konkretisasi bisnis melalui penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial lainnya.
Itu menandakan bahwa bisnis itu bukan sesuatu yang jahat penuh trik dan kelicikan. Baik sebelum maupun kejatuhan manusia pertama (Adam dan Hawa), bisnis menjadi sebuah imperatif. Manusia diberi perintah untuk bekerja (baca: berbisnis) (Kej 1: 28). Sesudah kejatuhan manusia dalam doa, perjuangan tentu lebih berat karena dengan berpeluh akan mencari makanan sampai kembali menjadi tanah (Kej 3: 19).
Jadi, bisnis merupakan sesuatu yang baik dan mulia, malah dianggap sebagai sebuah panggilan. Bisnis dilaksanakan untuk menunjang karya penyebaran iman. Hal ini menjadi alasan mengapa Vatikan memiliki Istituto per le Opere di Religione (IOR), yang berdiri tahun 1942 oleh Paus Pius XII yang disebut sebagai Bank Vatikan. Tujuannya untuk mengelola dana yang dikumpulkan umat dan hasil dari pengelolaan unit bisnis gereja.
Bisnis seperti ini tentu perlu dikelola secara profesional untuk mendatangkan laba yang wajar demi menunjang karya pastoral. Hal ini menjadi penjelasan, mengapa IOR diatur oleh ASIF (Autorità di Supervisione e Informazione Finanziaria), yang merupakan badan pengawas keuangan Vatikan. Namun selagi dikelola manusia (siapapun dia), godaan untuk menjauh dari tujuan luhur selalu ada. Namanya juga manusia. Hal ini mengingatkan akan Banco Ambrosiano yang berdiri tahun 1896 kemudian ambruk di tahun 1982. Skandar serupa terjadi tahun 2010 dan terlebih tahun 2014 ketika Paus Fransiskus memecat sejumlah pejabat tinggi di Bank tersebut.
Terlepas dari skandal yang bisa saja terjadi (hal mana mannusiawi), tetapi efek dari bisnis gereja itu sangar dirasakan warga NTT. Misi dan Zending dengan segala kelemahannya tetap hadir dan memberi sokongan di saat yang tepat. Dalam perspektif ini maka pembelian tahan oleh misi dari kolonial Belanda tentu ditempatkan dalam konteks ini. Tentu saja masa kelam penguasaan tanah oleh penjajah Belanda tidak bisa dilupakan. Penelusuran akan hal ini tentu perlu dilakukan, meski oleh perjalanan waktu, peran misi yang tidak berhenti pada masa penjajahan tetapi hingga kini merupakan fakta yang tidak bisa kita lupakan dengan menutup mata. Dalam perspektif ini maka mestinya tidak ada salah dan tidak perlu dipersalahkan kehadiran PT Perkebunan Kelapa Keuskupan Agung Ende (DIAG) yang kemudian berganti nama menjadi PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) adalah hal yang wajar.
Bila uraian ini diterima maka kita (terutama orang NTT) mestinya lebih mudah menerima fakta bahwa gereja harus berbisnis yang tentu saja diharapkan menjadi terdepan dalam menerapkan etika bisnis. Tidak hanya itu. Refleksi tentang perlunya keterlibatan gereja semakin menjadi sebuah tuntutan. Hendry Blackaby pernah menulis buku God in the Market (Tuhan ada di pasar). Baginya, setiap orang Kristen bisa menghadirkan Tuhan dalam bisnis mereka oleh praktik keadilan, kejujuran, keadilan, dan perdamaian.
Bisnis Kasih
Kalau bisnis itu baik dan mulia, lalu mengapa jadi persoalan seperti yang terjadi di Nangahale-Sikka? Pembelajaran apa yang diperoleh pascakonflik?
Pertama, untuk mengurai sebuah konflik, hal paling mendasar perlu diterima, bahwa sebagai bisnis, pengelolaannya tidak terlepas dari kemanusiawian pengelolanya (siapapun orang dan jabatannya). Skandal Bank Vatikan saja terjadi apalagi kita yang lain. Itu berarti mengurai konflik Nangahale bisa menjadi refleksi dan otokritik bagi siapapun (pejuang tanah ulayat maupun keuskupan). Kita perlu akui, tidak semua orang yang berjuang atas nama tanah ulayat berhati mulai. Ada selalu penyusupkarena namanya juga manusia. Walapun demikian tidak begitu mudah mencap orang yang menggerakan atas nama keadilan disebut sebagai ‘aktor intelektual’, sebuah julukan yang kelihatan menyederhanakan perjuangan.
Demikian juga PT Krisrama yang mewariskan hak sejak tahun 1926 tidak serta merta menjadi sasaran kritik dan menganggap semua yang dilakukan selama masa kolonial dan kini adalah salah. Perampasan tanah adat sejauh terdapat bukti yang jelas perlu diakui. Tetapi pembelian kemudian penggunaan untuk menunjang misi juga tidak saja dilakukan pada masa kolonial tetapi terus berlanjut hingga kini dengan segela potensi penyalahgunaan yang bisa saja terjadi. Namanya juga manusia. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa duduk bersama dibutuhkan tanpa arogansi apalagi kesewenang-wenangan.
Kedua, klaim antara tanah ulayat dan pemegang HGU merupakan persoalan yang tidak mudah diselesaikan. Ia harus melewati proses alot dengan tarik-menarik kepentingan. Tetapi kalau kita jujur, persoalan itu muncul karena ‘diberi ruang’ oleh pola pemanfaatan tanah yang belum maksimal dan optimal. Kalau kita jujur, banyak kali muncul gugatan karena terlihat kurangnya manfaat yang tidak saja belum atau malah tidak disaksikan apalagi dinikmati masyarakat sekitar tetapi bahkan tidak berkontribusi mendukung pelayanan gereja. Misalnya, sejauh mana kelapa telah memberikan kontribusi ekonomis bagi keuskupan? Kenyataan banyak unit bisnis gereja (semoga tidak terjadi dengan Nangahale), justru menjadi beban ibarat hidup segan mati tak mau.
Nangahale dan Pati Ahu yang hanya sepelempar batu jaraknya misalnya bisa saja mendapatkan ‘gangguan’ yang sama oleh klaim masyarakat adat sebagai ‘miliknya’. Yang berbeda, barangkali ‘gangguan’ ke Pati Ahu tidak seperti di Nangahale karena masyarakat menyaksikan bagaimana pengelolaan yang nyata di Pati Ahu terhadap pendidikan di Ledalero. Peternakan, Perkebunan, pertanian, kehutanan terlihat nyata. Gangguan kalau pun ada tidak masif seperti Nangahale yang bisa saja tidak seoptimal yang terjadi Pati Ahu. Dengan demikian pencurian tidak saja kelapa tetapi penebangan pohon menjadi lebih sulit terjadi. Di sinilah kritik mestinya diarahkan dan menjadi pembelajaran bagi PT Krisrama.
Ketiga, kalau muara akhir setiap bisnis yang adil adalah sejauh mana kasih itu dirasakan oleh orang-orang sekitar. Untuk hal ini, penyair Chile, Pablo Neruda (1904-1973), cukup jelas membahasakannya: El amor no se trata de propiedades, diamantes y regalos. Se trata de compartir tu you mas profundo con el mundo que te rodea: Cinta bukan tentang hata, berlian dan hadiah. Cinta lebih diartikan sebagai berbagi jati diri secara mendalam dengan dunia sekitar.
Itu berarti konflik yang terjadi di Nangahale hanyalah sebuah pertanyaan tidak langsung dari Neruda, sejauh mana cinta itu telah dialami oleh masyarakat yang mengelilingi perkebunan itu. Ketika ia dimaknai sebagai kepemilikan (propiedad) dan tanah hadir seperti belian yang belum terurus dengan baik maka di situlah persoalan bisa muncul. Bila ini terjadi kekeliruan, maka resolusi bisa terjadi kalau semua pihak membuka masker / topeng dan duduk sambil mengakui bahwa Vatikan saja bisa salah, apalagi kita.
==========
Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik dan Penjagaan Perdamaian, Universidad Complutense de Madrid – Spanyol