Jokowi: Antara Korup dan Korupsi

0
62

OLEH: ROBERT BALA

Adanya keberadaan Joko Widodo sebagai salah satu nominator pemimpin korup 2024, tentu saja mengherankan. Bagi banyak orang (termasuk penulis), Jokowi, tampil terlalu sederhana. Selama kampanye, apa yang dipakai bahkan dihitung, di bawah 400 ribu (baju 100rb, tidak ada perhiasan, celana Rp 110rb dan Sepatu Rp 160rb). Itulah iklan tentang kesederhanaan yang (saya kira) dipertahankan sampai lengser dari kursi presiden.

Karena itu banyak orang tentu saja heran dan segera menolak klaim organisasi non pemerintah yang berfokus pada investigasi kejahatan yang terorganisir dan korupsi (OCCRP). Tetapi ‘penghargaan’ yang tentu tidak terjadi secara tiba-tiba dan serampangan (seperti yang diklaim pendukung setia Jokowi), mendorong kita untuk membedakan apa artinya korup dan korupsi. Pemahaman akan diferensiasi antara keduanya bisa menjadi acuan untuk bisa menilai apakah ‘penghargaan’ itu beralasan atau tidak.

Korup (corrupt) adalah kata sifat yang menunjukkan sesuatu yang tidak jujur atau tidak etis. Ini digunakan untuk mencirikan kepribadian atau tindakan seseorang, demikian dictionary.cambridge.org. Dalam arti ini, korup bisa dikenakan untuk orang menggunakan posisi atau kekuasaan untuk mendapatkan sesuatu baik secara ekonomis, politik, hukum, dan sebagainya.

Pengertian ini merupakan penjelasan dari kata dasar ‘corrupto’ (spanyol) atau ‘corruptus’ (Latin) yang berarti orang yang telah membiarkan dirinya ‘dirusak’. Karena telah terjadi secara berualng maka sifat itu disejajarkan dengan seseorang dan diklaim bahwa orang teresbut telah menajdi rusak dan busuk.

Istilah ini dalam dunia komputer sering dipakai untuk menjelaskan kondisi sebuah informasi atau dokumen yang telah rusak. Konsekuensinya, terus menggunakan sebuah informasi dan data yang telah rusak akan berefek kepada perubahan makna. Jelasnya, ketika informasi di komputer rusak, maka tidak dapat digunakan karena telah berubah dan salah.

Hal ini berbeda dengan istilah korupsi. Korupsi adalah kata yang menggambarkan tindakan memanfaatkan jabatan yang dimiliki untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan kelompok tertentu.

Guy Benveniste, dalam buku Bureaucracy, 1977, tidak terpaku pada kata benda ‘korupsi’ sebagai penyalagunaan yang terbukti, tetapi memperluasnya dalam tiga jenis. Ada korupsi ilegal berupa tindakan mengacaukan peraturan atau regulasi hukum tertentu. Selain itu ada ‘mecernary corruption’ berupa jenis korupsi yang digunakan untuk mencapai keuntungan pribadi (seperti tentara bayaran). Pada akhirnya ada korupsi igeologis yakni korupsi yang dilaukuan karena kepentingan kelompok akbiat dari komitmen ideologis tertentu.

Bukan Koruptor

Berpijak dari pengertian di atas maka pertanyaan paling menarik adalah apakah Joko Widodo melakukan korupsi atau tak terbantahkan bahwa secara etis ia memenuhi sifat korup dalam berbagai keputusan saat menjadi Presiden ke-7 RI?

Pertama, sejak awal ketika masih menjadi Wali Kota Solo, Jokowi sudah identik dengan kesederhanaan. Hal itu kemudian kian diperkuat dengan aneka postingan yang membuat publik ‘terenyuh’. Lihat saja kalau ada foto Iriana Joko Widodo naik pesawat dan duduk di kursi ekonomi, atau melihat Gibran yang hanya mau jualan ‘markobar’ dan (katanya) tidak mau ‘ambil pusing’ dengan jabatan ayahnya sebagai presiden. Hal itu belum cukup kalau Kahiyang Ayu, putri Jokowi ikut test PNS dan tidak lolos atau Kaesang yang berbangga bahwa ia satu-satunya dalam keluarga yang tidak menjadi politisi dan malah menyenangkan karena dengan demikian dia bisa menguasai bisnis keluarga.

Semuanya adalah sedikit contoh yang bisa membuktikan bahwa Joko Widodo bukan seorang koruptor yang melakukan korupsi demi memperkaya diri secara ekonomis. Memang ada hal yang masih menjadi tanda tanya seperti Blok Medan (Tempo.co, 27/10/24). ekspor nikel ke Cina, pembelian saham oleh Kaesang (Kompas.com 14/1/22), dan ekspor ilegal biji nikel ke Cina sebanyak 5,3 juta ton 2020-2022 (Tempo.co 2/7/23) , tetapi minimal secara kasat mata tidak terbukti bahwa Joko Widodo menjadi tokoh koruptor.

Kedua, Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) bukanlah institusi hukum yang kompeten mengklasifikasi seseorang termasuk koruptor atau tidak. Ia juga (barangkali) tidak punya investigasi yang kuat untuk mendukung klasifikasi. Yang jadi pertanyaan, dari mana dan dari hal apa OCCRP (bisa berani) menempatkan Jokowi sebagai nominator tokoh dunia terkorup?

Dari nominasi ini sudah terlihat bahwa Jokowi tidak dinilai melakukan korupsi tetapi sebagai tokoh terkorup. Itu berarti yang dijadikan acuan bukan korupsi tetapi korup. Bila dipahami dalam konteks ini maka ia mengingatkan kita akan pengertian korup yang lebih fokus pada tindakan tidak jujur dan tidak etis yang dilakukan demi menguntungkan diri atau kelaurga. Dengan demikian hukumannya pun bersifat etis.

Contoh akan hal ini bisa terlihat dalam keputusan MKMK no 2 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa Anwar Usman (Ketua MK) dianggap telah melakukan pelanggaran etik berat melalui keputusan MK no 90 Tahun 2023 yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Dalam kasus ini tidak ada ‘sanksi’ hukum, tetapi pamannya Gibran hanya ditetapkan telah melakukan pelanggaran etik berat.

Dalam hal Jokowi, pakar etika, Frans Magnis Suseno memberikan contoh lebih jauh tentang tindakan korup yang dilakukan. Ia membeberkan 5 tindakan yang (baginya) memenuhi syarat untuk mengenakan sifat koruptif itu pada Jokowi yakni: pendaftaran Gibran sebagai Cawapres, Keberpihakan Jokowi dalam Pilpres; Nepotisme; Pembagian Bansos; dan manipulasi-manipulasi dalam pemilu (CNN Indonesia 3/4/24).

Dalam arti ini maka secara jelas kita bisa katakan Jokowi tidak melakukan tindakan korupsi (dan akan menjadi semakin kuat kalau dugaan pelanggaran yang diisukan tidak terbukti). Tetapi secara etis yang dikategorikan sebagai tindakan korup oleh pelanggaran etik cukup terang benderang dan tidak bisa disangkali. Tetapi pada akhirnya baik korupsi maupun korup hanya waktu yang akan membenarkan. Karenanya kesediaan membuka diri untuk dikritisi dan diinvestigasi, merupakan hal terbaik.

=======

Robert Bala. Diploma Resolusi Konflik Asia – Pasifik, Facultad Ciencia Politica, Universidad Complutense de Madrid Spanyol.

Komentar ANDA?