Oleh: Robert Bala
Sudah tiga minggu, Thomas Ola Langoday (TOL) menjadi penjabat bupati Lembata. Kini proses penetapan sedang dilakukan. Yang jadi pertanyaan, dengan hanya tertinggal 9 bulan lagi, apakah program yang sudah ada cukup ‘diteruskan’ saja atau perlu diadakan perubahan?
Pertanyaan ini kelihatan mudah. Dengan sisa waktu yang ‘tidak seberapa’, logikanya TOL cukup teruskan saja program yang sudah ada. Untuk apa ‘repot-repot lagi’ untuk merombak ulang program yang sudah ada. Hal itu butuh waktu dan lobi-lobi yang tentu saja melelahkan.
Tetapi apakah seperti itu? Ternyata pernyataan ini tidak mudah menjawabnya. Lebih lagi karena ada ‘udang di balik batu’ hal mana mau diuraikan dalam tulisan ini.
Duel Kepentingan
Pertanyaan yang kelihatan simple ini dalam kenyataannya mengandung beberapa konsekuensi dan logika berpikir yang tentu saja bertautan dengan kepentingan.
Ada sementara orang (parpol) yang berpandangan (sambil menekan) agar TOL meneruskan saja program yang ada. Alasannya karena sudah disusun dan ditetapkan. Apalagi ditetapkan saat TOL menjadi wakil bupati.
Tentu penekanan itu bukan tanpa alasan. Juga bukan sekadar tidak usaha ‘repot-repot’. Yang ada tentu membuat orang berpikir bahwa itu karenaada kepentingan. Program lama selain ditandatangani oleh bupati tetapi peran legislatif menjadi sangat penting. Di sini peran partai pemerintah sangat tepat.
Karena itu melanjutkan program secara tidak langsung memperkuat posisi partai pemerintah (waktu itu). Kalau program itu ‘diamankan’ maka tentu saja punya imbas untuk pilkada 2024.
Yang jadi pertanyaan, apakah TOL hanya melewatkan waktu yang ada dengan tidak mengubah apapun dan hanya ‘meneruskan saja?’ Apakah TOL juga tidak ada kepentingan untuk memberikan catatan kepada publik tentang portofolionya untuk pilkada 2024?
Kalau diajukan pertanyaan demikian maka jawabannya tentu sederhana. TOL tidak akan mengikuti begitu saja program yang ada. Mengapa?
Pertama, dalam beberapa pernyatan, TOL secara gamblang menekankan adanya perubahan. Beberapa keputusan seperti pembenahan birokrasi, pembangunan pelabuhan Lewoleba, penataan SPBU, menunjukkan perbedaan sikap fundamental. Dengan kata lain, semakin TOL menghembuskan perubahan itu, maka secara tidak langsung pula menyerang Golkar yang selama ini berada di belakang EYS. Hal ini tentu bisa menjadi kampanye yang kontraproduktif terhadap Golkar.
Kedua, penataan yang baru dilaksanakan sekarang oleh TOL, bisa menjadi boomerang. Masyarakat akan melihat bahwa selama 4 tahun ini nyaris TOL dengan latar belakang akademisnya ‘berbuat sesuatu’. Malah terkesan ia ‘menyerah’ pada ‘kegenitan’ EYS. Dengan demikian waktu 4 tahun terlalu lama untuk bisa dihapus hanya dalam 9 bulan.
Penilaian seperti ini bisa benar. Tetapi belajar dari tipe kepemimpinan EYS tidak saja periode ini tetapi juga sebelumnya, ia merupakan orang yang sangat ‘cerdas, cerdik’, (bisajuga lihai dan barangkali juga licik). Dari segi akademik, TOL bisa berada di atasnya tetapi dari segi strategi, EYS bisa disebut ‘pakar segala pakar’.
Dalam kondisi ini, siapapun yang jadi wakil bupati, diharapkan untuk ‘mendukung’ program yang sudah ditetapkan dan tidak perlu mempertanyakan apalagi mengubah kebijakannya. Pada tahapan ini bisa dipahami, TOL lebih mencari jalan yang ‘aman’. Ia berjuang dalam kesendirian ketika semua OPD juga tentu saja lebih ‘merapat’ pada bupati. TOL sendirian sambil dan sesekali mengunjungi masyarakat sendirian tanpa iringaan OPD.
Ketiga, kematian EYS justru memberikan harapan dan malah mengubah skenario politik di Lembata. Ia bisa buktikan bahwa selama jadi wakil bupati, ia sebenarnya lebih melaksanakan fungsinya sebagai akademisi. Ia mengamati, menyimpulkan, dan akhirnya memetakan masalah. Ia bisa disebut sebagai (problem mapper). Ia melihat, memetakan, menganalisis, dan melihat masalah secara obyektif. Ia memiliki gambaran mana yang seharusnya dilaksanakan (bukan hanya berdasarkan asumsi) tetapi sungguh didasarkan pada analisis.
Hal ini menjadi kapasitas akademik yang hanya bisa dimiliki seorang doktor (ekonomi pula). Ia bisa memetakan masalah dengan baik. Sayangnya, selagi jadi wakil bupati, ia tidak punya kekuatan apapun untuk mengeksekusinya. Karena itu, waktu yang ada, berapa bulan pun, menjadi sangat berguna. Di sinilah akan terlihat (kalau dilaksanakan) akan menjadi pembeda.
(Bisa) Merepotkan
Semua kondisi di atas tentu membawa pertanyaan pemungkas. Lalu apa pengaruh kebijakan sekarang dengan panorama politik pada 2024 nanti?
Di satu pihak, bila melihat konstelasi politik ‘lama’ selagi EYS masih hidup, bisa dipastikan bahwa GOLKAR memiliki peluang yang sangat besar. Dengan kekuatan lobi (dan dukungan dana yang kuat apalagi mengandalkan ‘poros Uyelewun’ bisa) dipastikan Yohanes de Rosari akan melenggang menjadi bupati periode 2024 – 2029. Figur lain seperti Herman Loli dan Victor Mado, oleh pengalaman yang sudah terjadi, masih disangksikan keampuhan strategi (yang sudah terbaca pada pilkada sebelumnya) selain faktor usia yang tentu saja tidak disebut muda lagi.
Dalam kerangka itu maka TOL, (bila saja EYS masih hidup), hanya menjadi ‘penggembira’. Syukur bahwa digandeng oleh Demokrat dan bisa tampil lagi di pilkada 2024 (dan tidak melalui jalur independen seperti yang digadang-gadang).
Tetapi kini justru konstelasi politik berubah. Kematian EYS dan strategi mengadakan perubahan yang akan dilakukan oleh TOL, diprediksikan akan ‘merepotkan’ dan mengacaukan skenario politik yang ada. Meski hanya 9 bulan, TOL bila sukses mengadkan perubahan secara struktural dan sistematis untuk menempatkan sistem yang ampuh, maka akan menarik perhatian publik.
Dalam panorama ini maka bila TOL terus mengadakan perubahan akan terlihat bahwa yang diserang bukan saja kebijakan yang tidak prorakyat sebelumnya tetapi juga Golkar yang berdiri di belakangnya. Dengan demikian apabila ada partai yang menentang program pembaharuan TOL, akan menjadi boomerang. Akan terlihat kerapuhan di baliknya yang merugikan diri dan parpol.
Bila terjadi, maka TOL justru seakan mendapatkan durian runtuh. Masyarakat dari wilayah mampun akan berdecak kagum dan bisa menyimpulkan bahwa Lembata membutuhkan figur seperti TOL. Pemimpin yang membangun Lembata di atas data yang kuat (bukan atas dasar asumsi).
Tetapi ini hanya pengandaikan. Semuanya tergantung sejauh mana TOL melewati masa 9 bulan ini. Kalau sukses, maka tentu sangat merepotkan konstelasi lama dan TOL tampil sebagai juara. Tetapi kalau hanya ‘menyelesaikan’ atau melanjutkan saja program lama, bisa dipastikan, TOL akan redup dan figur lain (terutama dari Golkar) yang bersinar.
Kalau demikian, maka pilihan TOL hanya satu: mengubah (tidak meneruskan) secara sistematis dan struktural dalam 9 bulan ini. Ini harga mati kalau ingin hidup di 2024.
==========
*) Penulis: Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol.