Mengumatkan Kitab Suci Sejak Dini (Catatan Kerasulan Kitab Suci dalam Kehidupan Gereja)

0
1117

Oleh: Albertus Muda, S.Ag

 

GEREJA Katolik Indonesia merayakan bulan September sebagai Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN). Dalam bulan ini, umat bergumul dalam sesi pendalaman Kitab Suci dan beberapa kegiatan seperti nyanyi masmur, quis Kitab Suci, cerita Kitab Suci, dll.

Waktu di bulan September, hanya tersisa beberapa hari. Sebentar lagi umat Katolik memasuki bulan Oktober yang dirayakan sebagai bulan Rosario. Lagi- lagi umat Katolik diajak untuk berdoa dari Kitab Suci dengan merdaraskan peristiwa-peristiwa rosario yang titik ditolaknya dari Kitab Suci. Melalui membaca Kitab Suci, kita dapat mengenal dan mengetahui peristiwa Yesus.

Atas dasar inilah, Santo Hieronimus mengatakan, “Tidak mengenal Kita Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Ungkapan ini menegaskan pentingnya membaca Kitab Suci sebagai jalan mengenal Kristus/Allah.

Umat beriman kristiani mesti sejak dini mulai membuka dan membaca Kitab Suci. Bergaul dengan Kitab suci tidak hanya memungkinkan umat beriman memetik makna dari Kitab Suci, tetapi juga mulai belajar berdoa dari Kitab Suci. Tulisan ini hendak merefleksikan pentingnya membaca Kitab Suci sejak dini.

Membaca Kitab Suci berarti berusaha memahami dan memaknai isinya dalam praksis hidup. Pemahaman setiap orang tentu berbeda-beda sesuai kemampuan. Karena itu, membaca Kitab Suci sejak dini bukanlah semata upaya perorangan melainkan bersama dengan orang lain.

Kebersamaan dalam membaca dan sharing pengalaman untuk saling memperkaya itu, hendaknya tetap terbangun dalam kesadaran dimana sabda Tuhan dalam Kitab Suci menjadi pusat kehidupan dan kekuatan bersama.

Pada prinsipnya kehidupan iman baik individu maupun kolektif berpusat dan bersumber pada sabda Tuhan dalam Kitab Suci. Sebab Kitab Suci yang berisi sabda Tuhan adalah sumber hidup kekal dan sumber hikmat (B.A. Pareira, 2006:10). Dengan demikian, membaca dan mendalami Kitab Suci mesti melibatkan orang lain dengan seluruh tubuh, akal budi dan hati.

Sejatinya, segenap umat beriman mesti mengenal dan membaca Kitab Suci agar dapat sungguh memahami, menghayati dan memaknai dalam hidup nyata sehari-hari. Maka, hal yang paling utama bukan apa yang tersurat di dalam Kitab Suci melainkan siratan isi atau pesannya untuk kehidupan umat beriman (Kono B. Yahya, 2005:1).

Patut diakui bahwa di masa lampau, kaum hierarki memiliki peran utama membaca Kitab Suci. Liturgi pun terkesan menjadi liturgi klerus sehingga kaum awam tidak terlibat secara penuh dalam liturgi Gereja. Akan tetapi, sesudah Konsili Vatikan II, Gereja yang sebelumnya menutup diri secara internal (ke dalam) dan ke luar (eksternal) mulai membarui diri.

Hierarki Gereja mulai menyadari berbagai aspek yang menyebabkan gereja menjadi eksklusif dan feodalistik. Melalui para Bapa Konsili, gereja menegaskan bahwa membaca dan merenungkan Kitab Suci bukan hanya semata tugas kaum hierarki, tetapi tugas segenap umat beriman kristiani. Berkat pembaruan ini, umat awam mulai membaca Kitab Suci dan mengambil bagian di seputar altar.

Mengumatkan Kitab Suci

Pertanyaan mendasar yang patut kita renungkan, sudahkah Kitab Suci Mengumat? Mulai kapan seorang beriman Katolik mengenal dan membaca Kitab Suci? Sejauh pengamatan sebagai katekis, selama mengemban tugas sebagai pengurus KBG, lingkungan dan DPP, penulis menyimpulkan, Kitab Suci belum sepenuhnya mengumat.

Mengapa demikian? Sebab umat hanya dapat membaca ketika hendak menyiapkan renungan atau khotbah dan menghadiri pendalaman iman. Di luar dari kesempatan itu, umat jarang membaca Kitab Suci. Hasilnya, upaya mengumatkan Kitab Suci masih momental dan temporal. Umat beriman Katolik belum sungguh menggeluti Kitab Suci secara mendalam.

Kenyataan di atas bukan hanya melanda umat biasa, tetapi juga umat inti (biarawan- biarawati) dan umat berjabatan ( hierarki) dalam Gereja Katolik. Inilah kenyataan sekaligus keprihatinan. Banyak umat kita kurang sekali bahkan ada yang hampir tidak membaca Kitab Suci. Berbagai argumen dijadikan alasan seperti terlalu sibuk, tidak mengerti, menjemukan, ketinggalan zaman, tidak membantu, dll (Kono B. Yahya, 2005: 7).

Pada titik ini, setiap orangtua dan agen pastoral hendaknya saling mengingatkan sekaligus mendorong upaya mengenalkan Kitab Suci sejak dini. Usia dini, 0-6 tahun merupakan usia emas. Jika dalam masa ini kebutuhan anak untuk mengenal Kitab Suci terabaikan, maka akan sulit menumbuhkan rasa cinta anak pada Kitab Suci dalam masa perkembangan selanjutnya.

Beberapa pakar psikologi berpendapat, tahun- tahun awal merupakan dasar pembentukan kepribadian dan perkembangan selanjutnya (Surip Stanislaus, 2010:16-18). Misalnya, pencetus teori psikoanalisa, Sigmund Freud (1856-1939) berpendapat, pada usia dini, anak perlu memiliki pegangan kuat agar terhindar dari gangguan-gangguan kepribadian.

Sementara itu, pemrakarsa teori psikososial, Erik Eriksson (1902-1994) pun menegaskan, anak yang tidak memperoleh kepuasan atas kebutuhannya akan mengalami kegagalan dalam mengembangkan rasa percaya pada orang lain.

Selain itu, penganut teori perkembangan kognitif, Jean Piaget (1896-1980) mengatakan, usia dini merupakan masa yang tepat untuk memperkenalkan berbagai konsep sederhana sebagai dasar pengembangan cara berpikir yang lebih kompleks pada tahap- tahap perkembangan berikutnya.

Bertolak dari pendapat para pakar di atas, salah satu upaya yang mesti kita lakukan bersama adalah mendorong dan membimbing anak-anak membaca Kitab Suci setiap harinya. Mengapa? Karena membaca Kitab Suci berarti kita berkomunikasi dengan Tuhan. Olehnya, para orangtua dan agen pastoral mesti lebih dahulu memotivasi dirinya dalam membaca Kitab Suci.

Mendorong orang lain membaca Kitab Suci tanpa terlebih dahulu memulainya sendiri adalah sesuatu yang mustahil. Maka, para orangtua dan agen pastoral mesti menjadi contoh dan teladan dalam membaca Kitab Suci. Tugas kenabian dan pewartaan hendaknya terus dihayati dan diwujudkan agar Kristus semakin dikenal dan dialami dalam hidup.

Salah satu cara mengedukasi kaum awam Katolik khususnya anak-anak yang belum memahami tempat Kitab Suci dalam hidup beriman dan dalam liturgi gereja adalah membaca dengan panduan penanggalan liturgi. Penanggalan liturgi dalam lingkaran 3 (tiga) tahun sangat membantu umat beriman dalam membaca Kitab Suci.

Namun demikian, membaca bukan berarti sekedar menghafal atau memiliki pemahaman iman yang luas dan mendalam, tetapi terlebih bagaimana memiliki hubungan personal yang semakin intim dengan Kristus agar semakin mengenal pribadi-Nya dan mengimani-Nya.

Tugas kita adalah membumikan di kalangan umat beriman aksi-aksi dan gerakan seperti pembuatan film pendek Kitab Suci, membuat lagu-lagu biblis untuk anak Sekami, diskusi Kitab Suci, Sharing Kitab Suci, Talk Show Kitab Suci, pelatihan pendalaman Kitab Suci, pelatihan membuat renungan biblis, menyadur cerita Kitab Suci untuk anak-anak, Bible Camp dan anjangsana Kitab Suci (http:// kupang.tribunnews.com/ 2019/07/26/ relawan-komisi-kitabsuci-kak-adakan- rapat- koordinasi- ini- tujuannya, akses 24 September 2019).

Penanggalan liturgi yang dikeluarkan Komisi Kitab Suci KWI maupun kalender yang dicetak beberapa kongregasi yang mencantumkan bacaan Kitab Suci di dalamnya, hendaknya dijadikan instrumen untuk membantu umat khususnya anak-anak dalam membaca Kitab Suci sejak dini. Maka, menghidupkan kelompok-kelompok pendalaman Kitab Suci di KBG, lingkungan dan stasi mesti menjadi gerakan yang mendesak demi membangkitkan semangat umat dan anak-anak dalam membaca Kitab Suci. Dengan begitu, Kitab Suci akan semakin mengumat. (*)

=======

*) Penulis adalah Guru SMAN2 Lewoleba Lembata

Komentar ANDA?