NTTsatu.com – KUPANG – Larangan Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Susi Pudjiastuti agar nelayan Lamalera di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak lagi menangkapnikan paus mengundang kecaman pedas dari Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI).
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus melalui rilisnya yang diterima kedia ini, Rabu, 08 November 2017 menyesalkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang melarang para Nelayan Lamalera menangkap Ikan paus di Lembata, semata-semata berdasarkan pendekatan kekuasaan dan mengabaikan pendekatan secara kultural berdasarkan kearifan lokal.
“Mengapa, karena selain pelarangan itu dilakukan hanya secara sepihak, tanpa kajian yang mendalam dan tanpa mendengarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata dan Masyarakat Tradisional di Lamalera,” kata Petrus.
Selain itu, kata dia, pelarangan Menteri Susi, sama sekali tidak dahului dengan sosialisasi terhadap masyarakat Lamalera dan Solor tentang dasar-dasar pelarangan itu sendiri, sehingga terkesan mengabaikan penghargaan terhadap budaya lokal di Lembata.
“Mengapa perlu dilakukan sosialisasi karena, melalui sosialisasi, kedua belah pihak saling mendengarkan argumentasi masing-masing apalagi menyangkut nilai kearifan lokal dan keyakinan budaya sebuah komunitas besar masyarakat Lembata yang sudah berlangsung turun temurun selama ratusan tahun lamanya,” ujarnya.
Menurutnya, Budaya menangkap Ikan Paus di Lamalera didahului dengan pemenuhan terhadap sejumlah syarat adat yang ketat dan ini adalah bagian dari upaya masyarakat melestarikan Ikan Paus, merawat tradisi bergotong royong dan sekaligus menjunjung tinggi kepercayaan terhadap sang pencipta yang memberikan sumber penghidupan untuk dijaga dan dilindungi bersama.
Oleh karena itu, Jelas Petrus, Menteri Susi tidak boleh melihat penangkapan Ikan Paus oleh Para Nelayan di Lamalera, semata-mata dari perlindungan Ikan Paus dari kepunahan atau sebagai sebuah mata pencaharian. Justru masyarakat Lamalera menempatkan Ikan Paus sebagai sebuah media yang mengandung banyak dimensi yang memberi harapan dan kepercayaan untuk hidup lebih baik. Ini merupakan perpaduan antara ritual secara Adat dan Gereja dalam merajut semangat gotong royong dalam menjaga kearifan lokal sesuai dengan amanat UUD 1945.
“Budaya menangkap Ikan Paus di Lamalera, Lembata adalah bagian dari tradisi masyarakat untuk menjaga kelestarian Ikan Paus, karena hanya Ikan Paus dengan kriteria tertentu yang boleh ditangkap, hanya pada musim tertentu sekalipun Ikan Paus selalu lalu lalang di perairan Lamalera namun dipatuhi untuk tidak boleh ditangkap pada sembrang waktu. Ini adalah konsekuensi dari komitmen masyrakat yang telah membudaya di Lamalera dan Solor untuk melestarikan Ikan Paus berdasarkan keyakinan dan tradisi masyarakat yang sangat ketat,” tandasnya.
Dikatakannya, Masyarakat Lamalera bukan membunuh Ikan Paus tangkarnya atau sarangnya melainkan hanya mengambil satu atau dua ekor Ikan Paus pada saat melewati perairan Lamalera dengan syarat yang ketat.
“Ini sudah berlangsung ratusan tahun sehingga Ikan Paus di Lamalera dan Solor tidak akan pernah punah, karena orang Solor dan Lamalera oleh hukum adatnya tidak membolehkan masyarkat untuk tangkap Ikan Paus pada setiap kali muncul dalam jumlah berapapun. Inilah cara unik orang Lamalera melestarikan Ikan Paus dengan caranya sendiri. Karena itu Menteri Susi harus mencabut kembali larangannya itu dan segera minta maaf secara adat kepada masyarakat Lamlalera dan Solor,” tutur Petrus.
Petrus pun meminta Menteri Susi jangan coba-coba menyamakan Penangkapan Ikan Paus di Lamalera dengan Menengelamkan Kapal yang mencuri Ikan cukup dengan sebuah Surat Perintah.
“Ini Lembata, NTT. Kemampuan menangkap Ikan Paus yang dilakukan oleh Para Nelayan di Lamalera memiliki legitimasi Hukum, Politik dan Agama karena dilakukan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan dengan tujuan pelestarian Ikan Paus, Budaya dan semangat Gotong Royong,” terangnya.
Buktinya, menurut Petrus, ialah masih begitu banyak Ikan Paus lalu lalang di perairan Lamalera, Lembata karena Ikan Paus itu sendiri merasa nyaman dengan tradisi masyarakat Lamalera, bukan sebagai ancaman yang menimbulkan kepunahan.
“Jika Ikan Paus merasa itu sebagai ancaman kepunahan maka Ikan Paus tidak akan berani lewat lagi di perairan Lamalera. Banyak dimensi yang harus dilihat oleh Menteri Susi untuk menjaga kearifan lokal, termasuk kearifan orang Lamalera dalam menangkap Ikan Paus di Lamakera ini, yaitu: Dimensi Iman/Kepercayaan, Budaya Gotong Royong, Kearifan Lokal dan sekaligus menanamkan kesadaran kepada Masyarakat untuk tidak membunuh secara semena-mena setiap Ikan Paus yang lewat di perairan Lamalera dan Solor, Lembata,” tambahnya.
Menurut Advokat Peradi ini, sikap Menteri Susi, meskipun dengan tujuan mulia, namun cara pendekatannya kurang tepat sehingga bisa menimbulkan instabilitas di kalangan masyarakat Lamalera yang sudah ratusan tahun mewarisi dan memiliki tradisi adat budaya yang diyakini sebagai warisan nenek moyang selama bertahun-tahun bahkan ratusan tahun tentang tata cara menagkap Ikan Paus, kapan Ikan Paus boleh ditangkap dan pada musim tertentu serta dalam jumlah yang dibatasi secara ketat. (*/bp)