KUPANG. NTTsatu – Ada banyak cara yang dipakai para calo atau perekrut calon tenaga kerja agar bisa meloloskan tenaga kerja yang direkrut untuk bisa dikirim ke luar negeri. Salah satunya adalah ketika ditanya petugas, tenaga kerja bersangkutan mengaku buta huruf, walaupun memiliki hand phone (HP) baik untuk telepon maupun mengirim pesan (SMS).
Kepala Badan Pelayanan, Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Cabang Kupang, Tota Kelang yang dihubungi di Kupang, Kamis (9/4) menjelaskan, pihaknya selalu menempatkan petugas di pintu- pintu keluar seperti di bandara dan pelabuhan laut untuk mencegah pengiriman tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal atau tidak prosedural.
Anehnya, ketika petugas mencurigai seorang atau sejumlah tenaga kerja, yang bersangkutan berpura- pura mengaku buta huruf. Hal ini untuk menghindari agar petugas tidak tanya lebih lanjut soal tujuan keberangkatannya. Tapi di saat yang sama, petugas melihat tenaga kerja tersebut bisa menelepon atau mengirim pesan (SMS) menggunakan selular.
“Para tenaga kerja yang berpura- pura buta huruf itu ternyata disuruh oleh para calo yang merekrut mereka untuk bersikap seperti itu bila didekati atau ditanya petugas,” kata Tota.
Ia menyampaikan strategi lain yang dipakai para calo adalah menggunakan orang yang tinggal di Batam. Sehingga ditanya petugas, tenaga kerja bersangkutan hendak bekerja di galangan kapal yang ada di Batam. Ketika petugas menghubungi nomor kontak diberikan, yang bersangkutan mengaku membutuhkan tenaga kerja untuk bekerja di galangan kapalnya. da Ironisnya. Bekerja di Batam yang masih berada di wilayah NKRI tapi tenaga kerja tersebut punya paspor.
Tota menerangkan, pada triwulan pertama tahun 2015, kurang lebih 300 orang tenaga kerja ditahan di Bandara El Tari Kupang karena keberangkatan mereka tidak prosedural. Mereka tidak memiliki dokumen lengkap sebagaimana yansg dibutuhkan seorang tenaga kerja yang hendak bekerja di luar negeri. Selain itu, sekitar 200 orang dilepaskan dengan alasan hendak ke daerah lain seperti Jakarta dan Kalimantan.
“Setelah dilakukan penelusuran, pelaku pengiriman tenaga non prosedural, orangnya itu- itu saja. Bahkan oknum yang membuat dokumen palsu pun, orang- orang yang sama,” ujar Tota.
Ia menyatakan, tenaga kerja yang ditahan karena pengiriman tidak prosedural itu, lebih banyak menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP) palsu. Untuk mengatasi permasalahan ini, BP2TKI nasional bekerjasama dengan kementerian Dalam Negeri melakukan validasai nomor induk kependudukan (NIK). Bagi mereka yang NIK- nya tidak koneksi secara nasional, dipastikan KTP yang dimiliki adalah palsu.
Ketua Komisi V DPRD NTT, Winston Rondo menyatakan, untuk meminimalisasi kasus perdagangan orang yang terus saja terjadi, DPRD NTT mendorong pemerintah untuk memberi pelayanan izin satu atap kepada calon TKI asal NTT yang hendak bekerja di luar negeri maupun dalam negeri.
Persoalan utama yang dihadapi terkait perekrutan dan pengiriman tenaga kerja adalah pemalsuan dokumen, seperti kartu keluarga, dan KTP. Pemalsuan dokumen ini, dilakukan oleh para calo maupun secara sukerela oleh pencari kerja itu sendiri.
“Kita dorong pemerintah agar menyiapkan pelayanan izin satu atap untuk para pencari kerja, sehingga masalah utama soal pemalsuan dokumen bisa ditekan,” ungkap Winston. (bop)