Opini

SARE DAME UNTUK LEMBATA, APA URGENSINYA?

By admin

February 04, 2022

Oleh: Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel

Hari-hari ini, Lembata heboh karena SARE DAME. Bahwa orang berpendapat, sah-sah saja. Tetapi pemahaman yang benar mesti dimiliki agar komentar tidak terlihat kontra produktif dengan roh Sare Dame itu sendiri. Ada dua hal penting yang perlu dimiliki demi memahami Sare Dame secara benar.

Konteks Sare Dame

Pertama, saat membincang dan kemudian merancang kegiatan ini, yang terpikir adalah bagaimana membuatnya menjadi gerakan dan bukan sekadar even ritualistik belaka.

Sare Dame adalah sebuah gerakan yang lahir tidak di ruang hampa. Ia digagas dalam situasi di mana secara fisik, Lembata sedang dilanda bencana erupsi dan banjir bandang. Secara mental, Lembata juga sedang dilanda banyak kasus korupsi yang mengakibatkan banyak proyek pembangunan mangkrak. Banyak orang masuk bui, dan banyak masyarakat hidup menderita karena penerapan politik polarisasi.

Hal-hal itu tampak di depan mata. Maka, ketika ide ini digulirkan, langsung disambut oleh bupati Lembata, Thomas Ola Langoday, hal mana sangat diapresiasi. Di sana terlihat kesamaan frekuensi bahwa hal yang terjadi baik alam maupun manusia diraskaan oleh semua tidak hanya oleh bupati tetapi oleh semua orang. Artinya, semua orang yang berkehendak baik, ketika melihat masalah seperti itu pastinya akan terenyuh dan sebagai orang yang lekat erat dengan adat tidak bisa tidak akan berpaling pada adat untuk menemukan nilai budaya yang bisa dijadikan pijakan untuk berefleksi.

Yang jadi pertanyaan, mengapa gerakan dipandang sangat nyinyir? Sare Dame sebagai roh gerakan ini adalah kearifan hidup nenek moyang masyarakat Lembata yang telah menghidupkan dan mendewasakan kita semua baik yang hidup di Lembata maupun di perantauan. Kata Geertz, kebudayaan itu bukan sesuatu yang baku, tetapi sesuatu yang bersifat interpretatif sehingga perlu terus dimaknai untuk mendukung dan membuat hidup semakin bermartabat. Konsep dasarnya tetap, tapi rohnya terus merasuk masuk ke dalam kehidupan masyarakat.

Gerakan ini tidak sedikit pun ingin merusak budaya, bahkan sebaliknya ingin merawat, melestarikan, dan mengembangkannya. Selama ini ritual Sare Dame hidup di komunitas-komunitas adat. Pesan dan nilai-nilai baiknya hanya diketahui secara terbatas oleh komunitas itu. Melalui gerakan ini, pesan-pesan bernilai tinggi itu ingin dikabarkan kepada saudara-saudara sesama masyarakat Lembata yang lain. Apa yang salah? Budaya kelompok perlu didorong untuk menjadi kekuatan bersama dalam hidup masyarakat yang lebih luas.

Dengan demikian, nilai hidup damai yang menjadi roh Sare Dame, kalau sudah menjadi atmosfir hidup bersama masyarakat Lembata, bukankah masyarakat Lembata akan hidup tenang dalam tugas-tugasnya; menjalankan birokrasi, mencerdaskan generasi muda melalui pendidikan, melayani kesehatan masyarakat, mengolah kebun, dan menangkap ikan sebagai sumber nafkah hidup mereka?

Bukankah dalam suasana masyarakat yang damai, rukun, dan bersatu; pemerintah –entah siapa pun pemimpinnya—bisa dengan tenang melaksanakan program-program pembangunan yang menjadi tanggungjawabnya?

Perubahan Paradigma

Hal kedua yang ingin saya tekankan adalah bahwa komentar-komentar orang tentang Sare Dame hari-hari ini sangat menggambarkan bahwa mereka belum siap menerima perubahan paradigma. Apa yang sesungguhnya terjadi dalam gerakan ini adalah gerakan untuk mengubah paradigma berpikir dalam proses pembangunan di Lembata. Tentang dana atau anggaran misalnya; diskursus yang berkembang jelas sekali menunjukkan bahwa diskusi tentang dana semata-mata demi dana yang luas dikenal sebagai politik anggaran. Padahal dana itu sekedar alat untuk mencapai tujuan pembangunan.

Apa tujuan pembangunan di balik gerakan Sare Dame? Inilah seharusnya yang menjadi topik diskusi.Tujuannya adalah untuk mendorong pembangunan manusia dan kebudayaannya. Selama ini manusia dan kebudayaannya lalai dibangun.

Manusia dan kebudayaan Lembata cenderung dipakai sebagai obyek bahkan tameng oleh sebagian orang untuk mengejar kepentingan diri sendiri dan kelompok. Masyarakat menjadi penonton dalam program pembangunan di desanya sendiri.

Melalui gerakan Sare Dame ini, manusia dan kebudayaannya coba ditempatkan sebagai subyek. Semua pendanaan diarahkan untuk memfasilitasi masyarakat mengabarkan nilai baik ritus Sare Dame-nya. Tentu saja, dalam kegiatan apa pun, pembiayaan-pembiayaan itu ada porsi untuk substansi kegiatan itu sendiri, tetapi juga ada porsi untuk hal-hal lain sebagai penunjang terjadinya hal yang substansial itu.

Oleh karena itu, apabila menyoal anggaran, seseorang perlu mendudukkan diri dengan jelas ke dalam kedua porsi tersebut. Tidak sekedar berteriak, tapi tanpa argumen yang jelas, mengapa berteriak. Ini kan lucu. Jangan-jangan inilah yang selama ini terjadi di Lembata?

Anggaran Sare Dame digunakan dalam tata kelola keuangan negara dan jelas mekanismenya. Ada pejabat pengguna anggaran, ada pejabat pembuat komitmen, dan berbagai perangkat teknis di bawahnya yang mengurus ini semua. Biarkan mereka bekerja dulu. Evaluasi boleh, tapi menyusul setelah kegiatan selesai dilakukan. Mengapa ini, evaluasi mendahului kegiatan? Ada manajemen baru kah? Kalau dibilang fungsi kontrol, pun ada mekanismenya, tidak liar seperti ini. Lebih lucu lagi, ada anggota DPRD yang menyoal besaran anggaran Sare Dame, padahal merekalah yang mengetuk palu anggaran tersebut.

Perlu dipertimbangkan juga, dalam konteks apa kegiatan dan anggaran itu dijalankan. Gerakan Sare Dame dan anggarannya di Lembata kali ini diletakkan dalam konteks kerja pemberdayaan.

Artinya, secara substantif, sebagian besar anggaran tersebut akan dimanfaatkan oleh masyarakat baik dalam konteks ritus sebagai inti kegiatan maupun hal-hal pendukung lainnya. Dalam arti itu, gerakan Sare Dame ini memang membawa sesuatu yang baru dalam pola kerja dan pola pembangunan di Lembata hari ini. Ada pergeseran paradigma dari politik anggaran ke politik pemberdayaan.

Reaksi-reaksi yang muncul di seputar anggaran gerakan Sare Dame ini menunjukkan dengan jelas paradigma berpikir yang belum berkembang, bahkan masih teguh memperlihatkan pola kerja lama yang berlawanan dengan paradigma berpikir pemberdayaan.

Buktinya, hampir semua komentar hanya menyoal besar kecilnya anggaran, tanpa satu pun orang yang mencoba memberi analisis kecukupan dana tersebut dalam gerakan ini sebagai landasan komentarnya.

============

Dr. Hipolitus Kristoforus Kewuel Dosen Antropologi Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, M

Komentar ANDA?