Terdapat hal yang dikritisi dalam kunjungan kerja Komisi III kali ini, yaitu mengenai penggunaan pasal TPPO oleh pihak kejaksaan dan kepolisian.
“Masih ada mis antara polisi dan jaksa dalam penggunaan pasal dalam kasus TPPO. Oleh karena itu, kami sarankan agar ada koordinasi yang baik antar penyidik dari kepolisian dengan jaksa peneliti dari kejaksaan. Sehingga ketika kasus ini sudah masuk ke pengadilan, maka menjadi kasus yang kuat,” jelas Erma
Dengan demikian para pelaku TPPO bisa di hukum secara maksimal bukan lagi di hukum minimal.
Selain itu, Komisi III juga melihat adanya persoalan infrastruktur yang dialami oleh mitra kerja di NTT. Seperti yang dialami Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) NTT yang menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan tugas secara maksimal karena wilayah NTT merupakan kepulauan.
“Labuan Bajo sebagai daerah destinasi wisata, potensi untuk bisa terpapar bahaya narkotikanya tinggi tetapi sampai sekarang belum ada kantor BNN-nya. Kami paham untuk membentuk satu kantor itu harus dengan persetujuan Kementerian PAN-RB,” papar Erma.
Terkait jumlah Polres yang ada di NTT, menurut Erma, dari 22 kabupaten/kota hanya ada 16 polres.
“Berarti masih ada kekurangan lima polres. Inilah yang harus menjadi perhatian ekstra buat kita,” katanya. (*/bp)
Foto: Komisi III DPR RI menaru perhatian besar terhadap masalah perdagangan anak di NTT